Semua orang pasti tahu mumi. Anak kecil sekalipun pasti bergidik dan menutup telinga kala mendengar nama itu disebutkan. Jelas sudah bahwa dalam film-film thriller sekelas Resident Evil besutan sutradara sekaligus produser Paul Anderson yang mempertontonkan mayat-mayat hidup sebagai pemeran utama yang berjalan oleng di perempatan jalan, berjingkat-jingkat di lorong-lorong nan gelap yang tak tersentuh cahaya matahari, menyeret-nyeret tubuhnya yang sudah terkoyak karena tertebas parang, membuat keberadaan mereka di dunia sering diidentikkan sebagai pembawa bencana, kegelapan, teror, wabah penyakit, dan lain-lain. Bahkan di Mesir sekalipun yang telah menjadi sejarah awal mula pembentukan, sang mumi dikenal sebagai pembawa kehancuran di dunia.
Di Mesir, tubuh raja yang telah mangkat, salah satu contohnya adalah raja Tuntankhamun, tidak serta merta dikubur di dalam tanah sebagaimana yang dilakukan dalam prosesi penguburan di Indonesia, ataupun dibakar di atas susunan tumpukan kayu seperti yang diyakini oleh kepercayaan umat Hindu. Pada zaman Mesir kuno, mayat raja akan diawetkan. Tindakan itu dikarenakan untuk menjaga bentuk awal tubuh tersebut hingga beratus-ratus tahun lamanya. Dan juga orang-orang mesir kuno percaya bahwa badan adalah tempat Ka—seseorang yang sangat penting dalam masa setelah hidup.
Rongga perut mayat yang akan dijadikan mumi akan dibuka dan isinya dikeluarkan: jantung, hati, paru-paru, dan usus dimasukkan dalam guci. Mereka percaya mumi membutuhkan organ itu pada kehidupan selanjutnya. Karena fungsi otak saat itu belum diketahui, organ terpenting tersebut dibuang dengan melubangi tengkorak lewat hidung. Mayat yang telah kosong itu akan dilapisi natron—sejenis mineral garam higroskopis untuk mempercepat proses dehidrasi sekaligus mencegah pembusukan. Selanjutnya, mayat dibungkus gulungan pita linen yang amat kuat untuk membantu mumifikasi. Setelah proses pembungkusan dan pembalsaman mumi itu telah selesai dilakukan lalu mumi tersebut akan dimasukkan ke dalam piramid, yang dimaksudkan agar mumi yang sudah dibalsam tersebut, terhindar dari proses dekoposisi oleh para mikroorganisme dekomposer, menjaga agar mumi tersebut kering, dingin karena ketiadaan oksigen.
Namun apakah ada riset ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuan untuk menguak misteri pengawetan mumi tersebut. Salah satu riset yang katanya menguak misteri itu telah dilakukan sebuah lembaga riset pertanian Amerika. Riset tersebut menggunakan beberapa ekor ayam sebagai kelinci percobaan. Ayam-ayam tersebut dimasukan ke dalam dua ruangan yang terkontaminasi bakteri pembusuk. Ruangan pertama diberi ion negatif sedangkan ruangan kedua tidak. Setelah menunggu beberapa waktu, riset pun menunjukkan hasilnya. Kondisi ayam di ruang yang diberi ion negatif tetap sehat. Sementara itu kondisi ayam di ruangan kedua telah menemui ajal.
Setelah diteliti lebih mendalam penyebab tidak matinya ayam di ruangan pertama ialah ion negatif. Ion negatif merupakan ion yang tidak stabil atau ion yang elektron bebasnya terlepas. Akibatnya, ion tersebut selalu mencari pasangan agar tetap stabil. Prinsip kestabilan ion inilah yang dimanfaatkan oleh masyarakat Mesir untuk mengawetkan mumi. Ruangan tempat mumi bersemayam ternyata penuh dengan ion negatif. Ion negatif yang mengisi peti mumi itu berikatan dengan bakteri yang berada di dalam ruangan maupun di dalam peti. Ikatan yang terbentuk membunuh sekaligus menghentikan aktivitas bakteri. Menakjubkan, ternyata pengetahuan kita masa kini telah dimiliki ribuan tahun lalu oleh masyarakat Mesir.
Kemudian baru-baru ini juga terkuak sebuah rahasia yang begitu mengesankan mengenai sebuah mumi yang terdapat di kota Palermo, Italia. Mayat Rosalia Lombardo, seorang anak perempuan Sisilia berusia dua tahun yang meninggal pada 1920, masih terlihat tetap segar. Mumi Rosalia ini dikenal dengan sebutan “Sleeping Beauty” disimpan aman dalam kotak kaca.
Dario Piombino-Mascali, seorang ahli antropologi biologi dari Institute for Mummies and the Iceman telah berhasil mengungkap rahasia racikan ramuan yang dipakai untuk mengawetkan mayat si gadis “Sleeping Beauty” itu. Dari catatan tangan yang dibuat oleh Alfredo Salafia—seorang taksidermis atau ahli pembuat awetan yang tewas tahun 1933, terungkap bahwa Salafia menyuntikkan zat-zat kimia ke tubuh Rosalia berupa formalin, alkohol, asam salisilat, gliserol, dan garam seng.
Kita tahu bahwa saat ini formalin adalah zat kimia yang paling umum digunakan untuk mengawetkan mayat. Campuran formalin dapat membunuh semua bakteri pembusuk daging. Sementara alkohol, di daerah yang kering digunakan untuk mempertahankan mayat agar tetap kering, awet terhadap perubahan suhu dan kelembaban. Gliserol, seperti minyak, akan mencegah tubuh terlalu kering, sedangkan asam salisilat mencegah tumbuhnya jamur yang tentunya akan menjadi organisme dekomposer. Namun kunci dari itu semua terletak pada garam seng. Menurut Melissa Johnsons Williams, Direktur Eksekutif American Society of Embalmers, seng tidak digunakan dalam proses pengawetan di AS. Dia mengatakan.
“Seng membuatnya kaku. Anda dapat mengangkatnya dari peti dan membiarkannya berdiri,” jelas Williams.
Di Cina, pengawetan mayat dilakukan dengan merendam peti mati dari kayu cemara yang dipadati dengan tumbuhan obat.
Pada pertengahan Mei tahun 2006, tim arkeologi mengumumkan penemuan mumi perempuan bertato dari peradaban Moche di Peru. Mumi yang diperkirakan berasal dari tahun 450 itu adalah mumi dengan kondisi terbaik yang pernah ditemukan karena kulitnya masih utuh untuk memamerkan tatonya. Ketika ditemukan, mumi perempuan elite Peru iti juga terbungkus dengan ratusan meter kain katun. Mumi yang dinamai Lady of Cao karena ditemukan di piramida Huaca Cao Viejo. Mumi tersebut diawetkan dengan menggunakan zat merkuri sulfida untuk memusnahkan mikroorganisme dan membantu pengawetan.
Di indonesia juga terdapat sebuah mumi yang konon telah berusia sekitar 400 tahun. Nama mumi itu adalah Mimindo Mabel, merupakan bekas kepala suku Mabel yang terletak di Kampung Sumpaima, Wamena, Papua. Arti nama Mimindo Mabel menurut suku Mabel tersebut adalah suka berperang. Banyak masyarakat Wamena yang mengatakan bahwa, jika orang dari luar Papua pergi ke Wamena tapi belum mampir ke Kampung Sumpaima, dianggap belum ke Wamena.
Pada intinya, untuk mengawetkan mayat menjadi mumi dibutuhkan tempat yang kering, dingin, sedikit oksigen, serta bantuan zat-zat kimia atau ramuan tertentu yang dapat menghidarkan tubuh tersebut dari proses terjadinya dekomposisi.
MISTERI MUMI
4/
5
Oleh
Unknown
Jangan lupa untuk memberikan komentarnya Disini...